115

Hanya sekedar ingin bercerita.


Bercerita tentang sesuatu yang berawal dari kehilangan.

Kehilangan adalah sesuatu yang tidak mau dialami semua orang.
Tetapi kenyataannya setiap orang mempunyai kemelekatan.
Masing - masing dari kita mencari kebahagiaan dari hal - hal yang tidak kekal.
Baik itu barang, keluarga, teman, karir, kesuksesan, ambisi, kesehatan, semuanya.

'Belajar yang baik nak, agar kelak sukses.'
'Jangan sombong, jadilah orang yang ramah agar banyak temannya.'
'Demi keluarga, kamu harus bersabar ya.'
'Jadilah seseorang yang membawa perubahan di lingkunganmu!'
'Kesehatan adalah aset terbesar, jangan lupa.'

Tetapi kenyataannya segala sesuatu yang kita lakukan,
yang kita kejar sepanjang hidup,
semuanya adalah ketidakkekalan tersebut.
Manusia sendiri tidak bisa hidup selamanya.
Di mana ada kelahiran, pasti ada kematian.

Karena itu, setiap manusia harus ingat - segala sesuatu itu tidak ada yang kekal.
Kita hanyalah sebagian kecil dari semesta yang kekal.
Pada akhir hari, kita bukanlah apa - apa.

Semua itu tidak ada yang bertahan selamanya.
Segala sesuatu yang kita cintai, pasti akan berpisah dari kita.

Aku sadar akan semua ini, tapi tetap aja terasa sangat berat.
Kehilangan sosok ayah yang selama ini selalu ada di sisiku.
Apalagi kehilangan beliau ketika aku akhirnya berani memutuskan untuk bantu usahanya.
Belum masuk, belum belajar apa - apa, ternyata sudah ditinggal terlebih dahulu.
Rasanya seperti diolok oleh semesta.
Rasa penyesalannya menohok dan tidak terangkat - angkat.
Pikiran pun mengandai - andai ke segala arah.
Mulai menyalahkan diri sendiri, tetapi berusaha memaafkan.
Karena semuanya sudah terjadi, aku bukanlah siapa - siapa yang dapat mengubah waktu dan masa lalu.

Sekarang saatnya menjalankan pilihan yang sudah kuambil.
Aku berhutang budi pada rekan ayahku, mereka adalah tanggung jawabku dan aku tidak mau tutup mata begitu saja.
Dengan gaji yang sama di perusahaan lama, saya mengiyakan permintaan atasan - atasan di kantor ayah untuk bergabung - merasa ini adalah pilihan yang benar.
Padahal, jujur aku paling tidak suka kalau 'keluarga' yang meneruskan mandat.
Kenapa? Tidak mungkin 100% profesional kalau dijalani.
Ditambah, motivasi ataupun minatku nol besar di bidang usaha ini.
Atau kalau kata generasiku, 'engga ada passion di sana'.
Tetapi tidak mungkin tidak kucoba jalani sama sekali.
Maka, walaupun tertatih, kujalani semua ini.

Lambat laun seiring waktu, aku menjadi terbiasa hidup dengan rasa kehilangan tersebut.
Terkadang di mimpiku, masih ada sosok - sosok yang menyalahkanku dan mengingatkanku akan penyesalan - penyesalan.
Tetapi kucoba hapus airmataku dan beranjak dari tempat tidur.

Namun, sekarang hal yang paling berat untukku adalah pergi ke kantor.
Pergi ke tempat ayahku dulu mencari nafkah untuk menghidupiku.
Di sini mataku menjadi terbuka, akan betapa beratnya pekerjaan ayah.
Tetapi yang namanya kerja pasti ada enak dan engga enaknya.

Dari dulu aku sudah mengetahui ini, maka prinsipku adalah

'Selama aku bisa berguna dan membuat orang sekitarku bahagia, itu sudah lebih dari cukup.
Apapun pekerjaanku nantinya, aku akan belajar untuk ikhlas melakukannya agar membawa manfaat untuk khalayak banyak. Harus mengingat juga kalau rejeki tidak akan ke mana - mana.'

Prinsip ini ternyata tidak cukup kuat.
Semakin dijalani di sini, semakin berat.
Apa iya prinsipku selama ini sebenarnya cukup?
Aku sebelum ini dimanjakan dengan mempunyai lingkungan yang baik.
Lingkungan yang mendorongku untuk berkembang terus dengan ketulusan.
Ketulusan untuk membawa sesuatu yang lebih baik lagi untuk banyak orang.

Tetapi kalau di sini,
semua orang hanya bekerja demi uang.
Semua kata - kata manis tersebut hanya untuk uang.
Tidak ada satu orang pun yang kutemui bekerja demi 'passion' ataupun tujuan yang tulus.
Rasa tanggungjawabku kepada mereka?
Ah, mereka tidak peduli. Mereka hanya khawatir kehilangan pekerjaannya.
Segala sesuatu akan dimanfaatkan apabila bisa,
termasuk luka aku dari kehilangan almarhum ayah.

Kenapa tidak? Segalanya dihalalkan apabila untuk keluarga kan?
Integritas? Kalau untuk tujuan yang baik, semua halal.
Hitam di atas putih? Buat apa? Kita kan teman baik.

Begitulah lingkunganku sekarang.

Seiring luka dari kehilangan ayah mulai tertutup,
rasanya setiap hari aku tertoreh oleh luka - luka baru.
Luka - luka dari manusia yang memanfaatkan peluang.
Mengatasnamakan ayah untuk cerita yang entah benar atau tidak.
mengatasnamakan ayah untuk perbuatan mereka yang menurutku salah.
Aku sudah tidak bisa membedakan lagi lukaku yang mana sebenarnya.
Yang pasti, semuanya terasa perih. Hari - hari aku terpuruk di tempat tidur dan rasanya tidak mau bangun itu tidak sedikit.
Aku tidak tahu lagi apa yang salah dan apa yang benar.
Aku sendiri mulai membenarkan apa yang menurutku dulu salah.

Aku ingin mengingat ayahku sebagai orang yang baik,
ingin memori akan dia tetap sama - sosok yang bijaksana dan mengayomi.
apakah ini permintaan yang terlalu muluk?
Sekarang ada bibit amarah dan kebencian ke sosok beliau.
Maafkan aku, tetapi sulit untuk melawannya.
Segala sesuatu yang ayah dulu ajarkan, dari kejujuran, berbuat baik, integritas, keterbukaan - semuanya terlihat kontradiktif di sini.

Aku sekarang jadi berpikir setiap hari.
Mungkin prinsipku salah, pada akhirnya setiap manusia perlu bekerja di lingkungan yang sehat,
dan juga bekerja dengan tulus memerlukan 'passion' dan tujuan.

Memang, sampai kapan sih mau dikejar 'passion' ini?
Mau sampai kapan diganti - ganti dan mencoba hal baru?
Idealnya setiap orang menemukan passionnya sembari berkarir.
Boleh dipisah, bisa berbarengan juga.
Tapi yang pasti karir tidak harus menjadi passion kita.
Karena aku sendiri berprinsip, karir adalah sebuah tanggung jawab.
Tanggung jawab yang tidak bisa dipilih - pilih.

Tetapi sekarang aku sendiri tidak punya tujuan.
Demi keluarga? Siapa keluargaku?
Demi teman? Tidak ada teman yang tulus di sini.
Demi lingkungan? Lingkunganku sekarang hanya mementingkan adanya 'santunan' yang masuk di setiap gerak geriknya.
Demi diriku?
Kalau memikirkan diriku, aku sudah kabur dari dulu.
Mungkin sudah saatnya ya. Saatnya memikirkan diri sendiri dan mencari tujuan sendiri.
Sudah bukan saatnya mencari kebahagiaan dari orang lain; dari membuat orang lain senang.
Saatnya sekarang beranjak pelan, tetapi pasti.
Tidak apa, yang sekarang dijalankan dulu - mungkin juga namanya karma.
Selama ini ayah berjuang keras untukku di lingkungan yang berat ini,
dan sekarang saatnya aku sesaat merasakan hidup di dalamnya.
Toh, selama ini aku hidup dari lingkungan kotor tersebut.

Namun, di hari ke 115 ini aku terpuruk kembali.
Karena itu, hanya sekedar ingin menuangkan pikiranku ke kata - kata.
Walaupun tidak ada yang membaca,
hanya sekedar pengingat untuk diri sendiri.
Setiap manusia punya masalahnya masing - masing.
Yang pasti, semuanya berat.
Yang pasti, beban orang lain selalu terlihat lebih ringan.
Yang pasti, waktu akan tetap berjalan dan hidup akan berakhir.



Comments

Popular Posts